PEMUDA DAN HARAPAN

Sejak zaman reformasi dimulai, dan kemajuan ilmu teknologi semakin pesat, tidak ada lagi tanggul pembatas yang mampu membendung derasnya aliran informasi yang datang menerjang pintu pemikiran. Ia masuk mencemari sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia yang kemudian menggerus sembari menghanyutkan nilai–nilai budaya serta kearifan lokal layaknya aliran sungai yang menggerus tepian dan menghanyutkan buih hingga ke hilir. Hilir adalah tempat terakhir bagi buih untuk melihat dunia ini. 

Akan ada masanya dimana budaya atau pun kebudayaan yang dimiliki Negeri ini tersapu hanyut hingga hilirnya. Dan ketika masa itu datang, kita tidak dapat lagi melihat wujud dari budaya gotong-royong. Kita akan lebih sering menemukan seorang anak yang memanggil ibunya denga nama. Mata ini akan terasa berat sebab penampilan aneh kaum wanitanya. Dan akan nampak pergeseran orentasi hidup masyarakat yang hanya tertuju pada dua hal, yaitu materi dan kekuasaan.

Perjuangan yang telah dilakukan oleh para pendiri bangsa tidaklah semata untuk membebaskan sebebas-bebasnya apa yang menjadi hak bagi penduduk negeri ini. Tetapi juga agar kekayaan budaya yang ada di dalamnya tetap terjaga dengan baik, sehingga ada identitas yang kelak bisa dibanggakan, dan menjadi benteng pertahanan di masa yang akan datang. 

Namun fakta yang terjadi saat ini sungguh mengkhawatirkan, para generasi muda yang seharusnya memposisikan diri sebagai penyambung semangat nilai perjuangan dari para pendiri bangsa sedikit banyak telah terkontaminasi oleh budaya kolot asing, bahkan menjadi pemuja setianya. Dan hal ini jualah yang menyebabkan patriotisme yang ada di dalam diri seorang pemuda zaman sekarang memiliki corak warna yang berbeda dengan pemuda-pemuda masa lampau. Jika di visualkan warna patriotisme antara pemuda zaman kemerdekaan dengan pemuda sekarang, ibarat merah darah berbanding merah delima.

Memang kita tidak bisa menyangkali bahwa salah satu penyebab kemunduran tersebut adalah tindakan dari media yang dinilai berlebihan. Ada hal unik yang di miliki oleh media. Ketika mobil hanya dapat dikendarai hingga depan pintu, media adalah “kendaraan” terbaik untuk menjangkau apa yang tidak dapat dijangkau oleh mobil, bahkan sampai ke dalam kampus. Dengan memperkosa jadwal kegiatan yang telah tersusun rapi, akhirnya seorang yang memiliki “kendaraan media” mampu tersenyum dan ngoceh di depan para mahasiswa. Saya bingung mau memberikan gelar mahasiswa apa. Bego, rasanya tidak etis. Tetapi pertanyaan yang timbul adalah, kok bisa? Kalau dalam perundang-undangan ada istilah asas berbunyi ‘lex specialis derogate lex generalis’ yang artinya undang-undang khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum. Memang kalau menyamakan antara ujian dan seminar dengan undang-undang terlalu jauh. Tetapi poinnya, belajarlah menghormati produk dari institusi sendiri dengan tidak menyaingi atau m e n i k u n g n y a dengan produk instant yang substansinya tidak begitu jelas. Namun, biarlah sebab telah berlalu.

Kembali ke pembahasan awal. Masih menyangkut media, khususnya media pertelevisian. Banyak sekali tayangan acara atau program-program cetek yang dijadikan komoditi siap jual untuk meraup keuntungan materi dengan melupakan dampak mental kejiwaan yang akan di alami oleh generasi muda bangsa ini. Bayangkan saja ketika kekayaan diumbar bak paha ayam, ketenaran dipuja setinggi monas, kebodohan dilestarikan layaknya budaya, dan kesalahan atau aib seseorang diperebutkan sebagai menu santapan lezat dikala siang. Sungguh menjijikan! Maka jangan pernah berharap akan adanya generasi muda tangguh yang lahir dari didikan media, karena yang ada hanyalah generasi tanggung bermental cengeng. Ya, tanggung dalam berpikir, tanggung dalam bertindak dan mudah melempar tanggung jawab,
seperti Jokowi, ada bantahan?
Menyebut nama Presiden di atas bukan untuk minta pulsa, apalagi meminta saham. Bukan juga bermaksud menghina beliau. Tetapi ingin sedikit menyentil otak para intelektual muda hukum ketika membaca kalimat tersebut. Adakah di sana yang kritis? Sebab apalagi yang harus digunakan untuk membangkitkan daya kritis ilmiah dan memahasiswa hukumkan kita semua? Berbicaralah wahai mahasiswa, berdiskusilah dan menulislah dengan cerdas, jujur, kreatif dan menohok, kayak Ahok. Agar budaya keilmuan itu terlihat hidup, khususnya di dalam lingkungan Fakultas Hukum. Yang akhirnya perjuangan dari para pendiri bangsa dalam rangka memerdekakan hak dan mempertahankan budaya tidaklah tersia-siakan. Dan juga harapan dari mereka akan hadirnya generasi muda yang peduli terhadap negaranya beserta kekayaan yang ada di dalamnya benar-benar terwujud, lahir dengan sempurna dan tidak premature. (Nash/hmj)


*Terbit di Bulletin HIMAPRODI ILMU HUKUM

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.