TOM LEMBONG

Tom Lembong mantan menteri perdagangan era Jokowi diputus bersalah oleh hakim dan dijatuhi hukuman penjara selama 4 tahun 6 bulan, plus denda sebanyak 750 juta. Mengenai perkara korupsi, ini putusan yang tidak mengagetkan.

Akan tetapi, tidak seperti kasus-kasus korupsi pada umumnya dimana pelaku sering dikecam publik. Tom Lembong justru mendapat simpati dan dukungan masyarakat luas. Terlebih lagi, banyak tokoh anti korupsi, para politisi lintas spektrum ideologi, hingga kalangan akademisi yang terang-terangan membela Tom. Ini peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Seorang koruptor dibela dan wajah peradilan dicela.

Pertanyaan yang muncul kemudian. Apa sebab dukungan terhadap Tom? Bukankah dia seorang koruptor sebagaimana putusan hakim! Ataukah majelis hakim telah keliru dengan putusannya?
Apa makna ketika masyarakat memilih berdiri di sisi terpidana dan bukan di sisi keadilan formal? Apakah ini bentuk dekadensi moral kolektif, atau justru sebuah kritik terbuka terhadap sistem keadilan itu sendiri?

Secara positivistik, hukum adalah produk formal institusi. Ketika hakim memutus bersalah, maka secara yuridis Tom adalah seorang koruptor. Namun, keadilan tidak selalu bersifat legal formal. Ia juga bersifat etis dan substantif. Miskawaih mengatakan bahwa keadilan bukan sekadar mengikuti aturan, tetapi “meletakkan segala sesuatu pada tempat yang benar.” Maka, jika masyarakat merasa bahwa putusan ini tidak "meletakkan kebenaran di tempatnya", bisa jadi publik sedang menolak legalitas yang telah kehilangan legitimasi moral.

Tom Lembong selama ini dikenal bukan hanya bersih, tapi juga rasional, terbuka, dan progresif. Tak ada narasi kekuasaan yang menempel padanya, tak ada kekayaan mencurigakan, dan tak ada pola hidup mewah. Dalam banyak isu publik, Tom lebih menyerupai intelektual yang nyasar ke pemerintahan. Maka ketika ia divonis korupsi, publik merasakan dissonansi moral, rasa bersalah yang tak sejalan dengan watak pelaku, dan ini mengganggu.

Saya mencoba mempelajari berkas putusan kasus Tom. Jumlahnya lumayan banyak, 1561 halaman. Kesimpulan yang saya ambil, baik hakim maupun tim yang ada dibelakangnya (panitera, analis perkara peradilan, dsb) cenderung ingin menghukum Tom. Terasa pada elaborasi pertimbangan hakim yang dangkal dan terkesan memaksakan. Semakin dalam dibaca, semakin tidak meyakinkan. Rasanya banyak fakta-fakta persidangan yang tidak masuk dalam risalah pertimbangan putusan. Dan ini diakui oleh pengacara Tom.

Nietzsche pernah menyindir bahwa "hukum adalah kehendak yang lebih kuat dari kehendak lainnya", Maka pertanyaannya kini: apakah vonis terhadap Tom adalah wujud supremasi hukum, atau manifestasi dari kekuasaan yang menyamar sebagai hukum? Tanyakan ke Mulyono. Peace!

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.