JALAN SUNYI PENDAKI
Setiap langkah di jalur pendakian adalah perundingan sunyi antara tubuh yang lelah dan hati yang menolak menyerah.
Pendakian gunung sering disalahpahami sebagai cara menaklukkan puncak-puncak bumi. Seolah-olah gunung adalah musuh yang harus dikalahkan, dan manusia adalah pemenang yang berdiri congkak di ketinggian. Padahal, bagi mereka yang sungguh-sungguh mendaki dengan hati, gunung bukan untuk ditaklukkan, ia hadir untuk menyadarkan.
Gunung mengajarkan satu hal sejak langkah pertama, tidak semua jalan nyaman layak dipilih. Jalurnya sempit, licin, menanjak, dan sering kali membuat kita bertanya, “Kenapa aku ada di sini?” Pertanyaan yang sama juga sering muncul dalam hidup. Saat usaha terasa berat, doa terasa sepi, dan hasil tak kunjung tampak, hidup pun seperti pendakian yang tak berujung.
Di gunung, pengorbanan adalah keniscayaan. Kenyamanan harus ditinggalkan. Kasur empuk diganti tanah dingin. Makanan lezat diganti sekadar pengganjal lapar. Sinyal hilang, ego dipreteli, dan tubuh dipaksa berdamai dengan keterbatasannya. Semua itu bukan untuk menyiksa, melainkan untuk membersihkan. Sebab sering kali, manusia baru mengenal dirinya sendiri saat tak lagi punya apa-apa untuk disombongkan.
Pendakian juga mengajarkan tentang sabar. Tidak ada puncak yang bisa diraih dengan tergesa-gesa. Mereka yang memaksakan langkah, biasanya justru tumbang di tengah jalan. Sama seperti hidup, terlalu terburu-buru mengejar hasil sering membuat kita lupa menjaga diri dan niat. Gunung seakan berbisik, yang pelan tapi istiqomah, lebih selamat daripada yang cepat tapi lalai.
Ada saatnya pendaki berhenti, bukan karena lemah, tetapi karena tahu batas. Ini pelajaran penting yang sering kita abaikan. Dunia kerap memuja mereka yang terus maju tanpa jeda, tanpa istirahat, tanpa mengeluh. Padahal berhenti sejenak bukan tanda kalah, melainkan bentuk kebijaksanaan. Bahkan Nabi pun beruzlah, menepi sejenak, sebelum menerima tugas besar.
Menariknya, tidak semua pendakian harus berakhir di puncak. Ada pendaki yang memilih turun sebelum sampai. Bukan karena gagal, tapi karena sadar, keselamatan lebih utama daripada ambisi. Ini pun filosofi hidup yang mahal. Tidak semua yang ditinggalkan adalah kekalahan. Kadang, mundur adalah cara paling jujur untuk tetap hidup.
Dan ketika puncak akhirnya dicapai, yang datang bukan euforia berlebihan, melainkan keheningan. Di atas sana, manusia terasa kecil. Ego runtuh. Ambisi mereda. Bahkan air mata menetes haru. Kita sadar, betapa luas ciptaan Tuhan dan betapa rapuhnya diri ini. Puncak tidak membuat kita tinggi, justru ia mengajarkan kerendahan hati.
Akhirnya, mendaki gunung itu kegiatan yang berat dan menyiksa. Namun jika kamu yakin dan sabar, kelak ketika telah di puncak, seolah kamu lahir kembali dengan versi yang berbeda. Maka jika hari ini hidup terasa seperti pendakian berat, mungkin bukan karena jalanmu salah, tapi karena sedang ditempa untuk menjadi pribadi yang lebih utuh.
Tidak ada komentar: